A.
ISLAM dan JARINGAN PERDAGANGAN ANTAR PULAU
·
Islam dan Jaringan Perdagangan Antar
Pulau Jaringan perdagangan dan pelayaran antarpulau di Nusantara terbentuk
karena antarpulau saling membutuhkan barang-barang yang tidak ada di
tempatnya. Untuk menunjang terjadinya
hubungan itu, para pedagang harus melengkapi diri dengan pengetahuan tentang
angin, pembuatan kapal, dan kemampuan diplomasi dagang. Dalam kondisi seperti itu, muncullah
saudagar-saudagar dan syahbandar yang berperan melahirkan dan membangun pusat-pusat
perdagangan di Nusantara.
·
Pelaut-pelaut Nusantara juga telah
mengetahui beberapa rasi bintang. Ketika berlayar pada siang hari, mereka
mencari pedoman arah pada pulau-pulau, gunung-gunung, tanjung-tanjung, atau
letak kedudukan matahari di langit. Pada malam hari mereka memanfaatkan rasi
bintang di langit yang cerah sebagai pedoman arahnya. Para pelaut mengetahui
bahwa rasi bintang pari berguna sebagai pedoman mencari arah selatan dan rasi
bintang biduk besar menjadi pedoman untuk menentukan arah utara. Hubungan
perdagangan antarpulau di Indonesia sebelum tahun 1500 berpusat di beberapa
wilayah, antara lain Samudera Pasai, Sriwijaya, Melayu, Pajajaran, Majapahit, Gowa-Tallo,
Ternate, dan Tidore.
·
Wilayah Nusantara menyimpan berbagai
kekayaan di darat dan di laut. Sumber daya alam ini sejak dulu telah
dimanfaatkan untuk keperluan sendiri dan diperdagangkan antarpulau atau
antarnegara. Barang dagangan utama yang mendapat prioritas dalam perdagangan
antarpulau, yaitu:
a.
lada, emas, kapur barus, kemenyan, sutera,
damar madu, bawang putih, rotan, besi, katun (Sumatera).
b.
beras, gula, kayu jati (Jawa).
c.
emas, intan, kayu-kayuan
(Kalimantan).
d.
kayu cendana, kapur barus, beras,
ternak, belerang (Nusa Tenggara).
e.
emas, kelapa (Sulawesi).
f.
perak, sagu, pala, cengkih, burung
cenderawasih, perahu Kei (Maluku dan Papua).
·
Rasi bintang biduk besar dan rasi
bintang pari. Pada saat ini cara perdagangan dilakukan melalui system barter
(tukar menukar barang dengan barang). Sistem barter umumnya dilakukan oleh para
pedagang daerah pedalaman. Hal ini disebabkan kegiatan komunikasi dengan
daerah-daerah luar kurang lancer.
·
Beberapa macam mata uang yang telah
beredar pada saat itu adalah,
1.
Drama (Dirham), mata uang emas dari
Pedir dan Samudera Pasai.
2.
Tanga, mata uang perak dari Pedir.
3.
Ceiti, mata uang timah dari Pedir.
4.
Cash (Caxa), mata uang emas di
Banten.
5.
Picis, mata uang kecil di Cirebon.
6.
Dinara, mata uang emas dari
Gowa-Tallo.
7.
Kupa, mata uang emas kecil dari
Gowa-Tallo.
8.
Benggolo, mata uang timah dari
Gowa-Tallo.
9.
Tumdaya, mata uang emas di Pulau
Jawa.
10. Mass, mata uang emas di Aceh Darussalam. Mata uang asing
yang telah digunakan dalam kegiatan perdagangan di Nusantara antara lain Real
(Arab); Yuan dan Cash (Cina).
·
Para pedagang Nusantara, baik dari
Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, maupun pulau-pulau lain telah berjasil
menjalin hubungan dagang bandar-bandar, seperti Malaka dan Johor di Semenanjung
Malaka; Pattani, dan Kra di Thailand; Pegu di Myanmar (Birma); Campa di
Kamboja; Manila di Filipina; Brunei dan bandar-bandar lain. Perahu yang dipakai
dalam pelayaran di masa lalu.
B. PERAN KEPULAUAN INDONESIA DALAM
PERDAGANGAN DAN PELAYARAN DI ASIA TENGGARA SAMPAI ABAD KE-18
·
Munculnya pusat-pusat perdagangan
Nusantara disebabkan adanya kemampuan sebagai tempat berikut ini:
1.
Pemberi bekal untuk berlayar dari suatu
tempat ke tempat lain.
2.
Pemberi tempat istirahat bagi
kapal-kapal yang singgah di Nusantara.
3.
Pengumpul barang komoditas yang
diperlukan bangsa lain.
4.
Penyedia tempat pemasaran bagi
barang-barang asing yang siap disebarkan keseluruh Nusantara.
·
Peranan Sriwijaya sebagai salah satu
pusat perdagangan dan pelayaran di Asia Tenggara umumnya dan Nusantara
khususnya, kemudian digantikan oleh Kesultanan Samudera Pasai sejak abad ke-13.
Perdagangan
antarpulau di Indonesia pada masa kuno
Kawasan nusantara terdiri dari
beribu-ribu pulau yang memanjang dari barat sampai ke timur. Diantara pulau
satu dengan lainnya itu telah terjalin hubungan yang berlangsung sejak dulu,
diantaranya hubungan perdagangan, terutama pada masa kerajaan-kerajaan Islam
nusantara. Berlangsungnya interaksi perdagangan antara lain harus didukung
pengetahuan tentang angin. Indonesia yang diapit dua benua dan dua samudera
besar, wilayahnya dilalui garis khatulistiwa, sehingga Indonesia memiliki iklim
muson, yaitu iklim yang ditandai pergantian arah angin yang berlangsung selama
enam bulan sekali di daerah khatulistiwa. Dengan memanfaatkan pengetahuan
tentang perubahan arah angin, maka di sekitar bulan September-Oktober
kapal-kapal yang berada di sebelah timur akan berlayar ke sebelah barat. Sebaliknya,
pada sekitar bulan Maret-April kapal-kapal berlayar dari barat ke arah timur.
Semula kegiatan perdagangan di
nusantara bersifat insidental, namun lambat laun terjadi perubahan menjadi
kegiatan yang berlangsung terus menerus, ramai, dan semakin menguntungkan.
Dengan demikian muncullah beberapa pusat perdagangan yang dimiliki
kerajaan-kerajaan yang wilayahnya menjangkau pantai. Adapun pusat-pusat
perdagangan sebelum tahun 1500 antara lain berpusat di sumatera tengah abad
ke-5/6, sriwijaya abad ke-7/14, melayu abad ke-14, bali abad ke-11, pajajaran
abad ke-11, pajajaran abad ke-8 sampai ke-16, majapahit abad ke-13/14,
gowa-tallo abad ke-2, ternate dan tidore abad ke-13, samudera pasai abad ke-13,
dan sebagainya.
Kegiatan perdagangan yang
berlangsung pada masa itu dilakukan dengan cara sistem barter (tukar menukar
barang dengan barang). Sedikit sekali penduduk yang telah melakukan tukar
menukar dengan menggunakan uang. Sistem barter umumnya dilakukan para pedagang
dari daerah pedalaman. Sebab, kegiatan komunikasi dengan daerah-daerah luar
kurang begitu lancar. berlainan dengan di pedalaman, masyarakat daerah pesisir
pantai telah menjalin hubungan yang baik dengan pihak luar, sehingga sebagian
besar penduduk telah menggunakan mata uang dalam kegiatan perdagangan.
b. Pola
Perdagangan dan pelayaran Antar Pulau di Indonesia.
Jaringan perdagangan dan pelayaran antar pulau di
Indonesia telah dimulai sejak abad pertama Masehi.
Bahkan pada abad ke-2, Indonesia telah menjalin hubungan dengan India
sehingga agama Hindu masuk dan berkembang. Sejak abad ke-5,
Indonesia telah menjadi kawasan tengah yang
dilintasi jalur perdagangan laut antara India dan
Cina. Jalur perdagangan tersebu yang dikenal dengan namaJalur Sutra Laut (Jalan Sutera lama/kuno via
darat).
Jalur perniagaan dan pelayaran tersebut melalui laut,
yang dimulai dari Cina melalui Laut Cina Selatan kemudian Selat Malaka,
Calicut: sekarang Kalkuta (India), lalu ke Teluk Persia
melalui Syam (Syuria) sampai ke Laut Tengah atau melalui Laut Merah sampai ke
Mesir lalu menuju Laut Tengah.
Indonesia, melaui selat Malaka,
terlibat dalam perdagangan dengan modal utama rempah-rempah
(komoditas utama), seperti lada dari Sumatera,
cengkeh dan pala dari Indonesia Timur, dan
jenis kayu-kayuan dari Nusa Tenggara. Posisi Indonesia
yang strategis dan hasil sumber daya alam yang berlimpah menyebabkan Indonesia
mampu menjadi salah satu pusat perdagangan yang penting di
jalur dagang antara Asia Timur – Asia Barat (Timur Tengah dan
semenanjung Arab), dengan Selat Malaka yang
menjadi pusat-pusat dagang atau pelabuhan-pelabuhan dagangnya.
Sekitar abad ke-7 hingga abad ke-14, ada dua kerajaan besar yang
telah mampu menguasai perairan atau perniagaan di Nusantara,
yakni Kerajaan Sriwijaya (Sumatera) dan Kerajaan
Majapahit (Jawa). Keberhasilan ini karena kemampuan kedua kerajaan
tersebut mendominasi bahkan memonopoli jaringan perdagangan di
Selat Malaka. Perlu diketahui, bahwa Selat Malaka mempunyai posisi strategis baik secara geografis,
iklim/cuaca, maupun secara politis dan ekonomi.
Itu sebabnya Selat Malaka merupakan “kunci” penting.
Dengan demikian, perdagangan dan pelayaran di
Nusantara bahkan jaringan dagang internasional Asia di
dominasi oleh dua Kerajaan bercorak Hindu-Budha tersebut dalam periode yang
berbeda.
Sekitar abad ke-15
(setelah Majapahit runtuh), telah muncul kerajaan-kerajaan yang
bercorak Islam di Nusantara, dan yang juga akan melanjutkan tradisi perdagangan dan
pelayaran di Nusantara. Walaupun Majapahit runtuh,
namun pelabuhan-pelabuhan Tuban dan Gresik (di
pesisir utara Jawa)
tetap berperan sebagai bandar transito dan
distribusi penting, yaitu sebagai gudang sekaligus penyalur rempah-rempah asal Indonesia
Timur (Maluku). Bahkan, Tuban berkembang menjadi bandar terbesar di
Pulau Jawa. Perkembangan perdagangan dan pelayaran di
perairan Jawa tersebut memacu munculnya pelabuhan-pelabuhan
baru seperti pelabuhan Banten, Jepara dan Surabaya.
Pada abad ke-15 sampai awal abad ke-16,
jalur perdagangan di asia Tenggara diwarnai oleh dua jalur besar,
yaitu jalur Cina-Malaka dan jalur Maluku-Malaka. Jalur
perdagangan antara Maluku-Malaka mendorong terjadinya perdagangan dan
pelayaran antar pulau di Indonesia. Jalur Maluku-Malaka ramai karena banyaknya para
pedagang yang hilir-mudik. Orang-orang Jawa misalnya, ke Maluku
membawa beras dan bahan makanan yang lain untuk ditukarkan dengan rempah-rempah.
Mereka ke Malaka, dengan ditambah beras, membawa rempah-rempah dari Maluku,
dan sebaliknya dari arah Malaka membawa barang-barang
dagangan yang berasal dari luar (pedagang-pedagang Asia).
Berkat komoditas “beras” dan letak strategis antara Maluku
dan Malaka, Jawa menjadi kekuatan yang diperhitungkan di
dalam perdagangan dan pelayaran di Nusantara. Terutama setelah Malaka jatuh ke
tangan Portugis pada tahun 1511, Jawa yang kemudian akan
memainkan peranan penting dalam perdagangan dan pelayaran di Nusantara.
Terutama keberadaan pelabuhan atau bandar dagang Banten, yang
akan mengambil peran penting di
dalam perdagangan di Jawa dan Nusantara. Sebelum bangsa Barat masuk ke
Indonesia, bangsa Indonesia telah menguasai perdaganga dan pelayaran Nusantara.
Perdagangan dan pelayaran saat itu bersifat antar pulau,
yakni antara Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan pulau-pulau di
bagian timur, terutama Maluku.Perdagangan dan pelayaran yang
berkembang sebelum masuknya bangsa Barat ke Asia
Tenggara maupun ke Indonesia itu telah membentuk pusat-pusat kekuasaan.
Disamping Malaka sebagai pusat perdagangan dan
juga pusat kekuasaan, maka terbentuk pula pusat-pusat kekuasaan
lain seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Banten, Ternate, dan Tidore,
yang juga merupakan pusat-pusat kekuasaan yang bercorak Islam di
Nusantara. Di Indonesia Timur, pelabuhan penting adalah Ternate dan
Tidore. Barang dagangan yang dihasilkan adalah cengkih, sedangkan kayu cendana diperoleh dari pulau-pulau sekitarnya.
Di bagian Barat Indonesia, bandar-bandar yang
penting seperti Pasai/Aceh, Pedir, Jambi, Palembang, Barus, Banten,
dan Sunda Kelapa.
Pelabuhan-pelabuhan tersebut kebanyakan mengekspor lada.
Pelabuhan-pelabuhan di
pantai Barat Sumatera juga menghasilkan barang dagangan lain
seperti kapur barus, kemenyan, sutera, madu, dan damar.
Pusat-Pusat Perdagangan serta Jalur Pelayaran
Setelah Jatuhnya Malaka. Setelah
Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511), pedagang-pedagang Islam
memindahkan kegiatannya ke pelabuhan-pelabuhan lain.
Dengan jalan demikian, mereka tetap dapat melanjutkan usaha
perdagangannya secara aman. Sehingga, penyaluran komoditas ekspor (rempah-rempah)
dari daerah Indonesia ke daerah Laut Merah tatap dapat dikuasai.
Pusat-pusat perdagangan dan kekuasaan yang
sebelum Malaka jatuh sudah ada kemudian menjadi berkembang pesat.
Pusat-pusat perdagangan dan kekuasaan yang berkembang pesat
setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511
antara lain, Aceh, Banten, Demak, Tuban, Gresik, Makasar, Ternate dan
Tidore.
C. Kesimpulan
Pedagang-pedagang Islam yang konflik dengan pedagang-pedagang
Portugis menyingkir ke Aceh, Banten, dan Makasar.
Mereka tetap melakukan perdagangan dan pelayaran dengan pedagang-pedagang
luar. Karena jalur melalui Selat Malaka sudah dikuasai Portugis,
maka mereka membuka jalur perdagangan baru
melalui sepanjang Pantai Barat Sumatera. Pedagang-pedagang Islam
berangkat dari bandar Banten lalu masuk selat Sunda
terus berlayar ke luar melalui pantai barat Sumatera.
Sebaliknya, Banten juga didatangi pedagang-pedagang dari luar
seperti Gujarat, Persia, Cina, Turki, Myanmar Selatan, dan Keling.
Kapal-kapal yang
berasal dari Banten ataupun ke Banten banyak juga yang
singgah ke Aceh. Sementara itu, pedagang-pedagang Islam
dari Malaka juga banyak yang mengalihkan kegiatannya ke
Aceh sebagai akibat jatuhnya Malaka ke
tangan Portugis. Sehingga Aceh juga berkembang menjadi pusat perdagangan dan
pusat kekuasaan Islam. Sedangkan di bagian Timur, ada dua pusat perdagangan dan
kekuasaan Islam yang penting, yakni Ternate dan Tidore.
sumber: internet
Komentar
Posting Komentar
Untuk menggunakan emoticon ini, salin kode ke kotak komentar.
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i:
:j: :k: :l: :m: :n: :o: :p: :q: :r:
:s: :t: :u: :v: :w: :x: :y: :z: :ab: